SELAMAT DATANG


Cari Blog Ini

Minggu, 14 Februari 2010

Asbabun Nuzul

Oleh: Abi Nafiah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka imani dan laksanakan dalam kehidupan mereka agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Mengenai mengerti asbabun nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan kesulitan dalam memberikan arti ayat-ayat al-Qur’an.
Imam al-Wahidi menyatakan; tidak mungkin orang mengerti tafsir suatu ayat, kalau tidak mengetahui ceritera yang berhubungan dengan ayat-ayat itu, tegasnya untuk mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu harus mengetahui sebab-sebab ayat itu diturunkan.
Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami ayat, mereka segera kembali berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara ini hilanglah semua kesulitan yang mereka hadapi dalam mempelajari al-Qur’an.
Dalam hal ini penulis mencoba menuangkan dalam bentuk makalah yang berjudul “Asbabun Nuzul” dengan harapan semoga makalah ini dapat menambah keimanan dan keilmuan kita baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin.

B. Batasan Masalah
A. Pengertian Asbabun Nuzul
B. Macam-macam Asbabun Nuzul
C. Manfaat Asbabun Nuzul


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asbabun Nuzul
Secara etimologis, asbabun nuzul berarti sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu disebut asbabun nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan asbabun nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, seperti halnya asbabul wurud yang khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadits.
Ada beberapa pengertian tentang asbabun nuzul, diantaranya adalah :
1. Menurut Subhi Shalih, ababun nuzul ialah:
ما نزلة الاية او الايات بسيه متضمة له او مجية عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه

“Sesuatuyang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
2. Menurut Az-Zarqani:
“Asbabun Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hokum pada saat peristiwa itu terjadi.”
3. As-Shabuni
“Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
Kendati redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan bahwa yang disebut asbabun nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
B. Macam-macam Asbabun Nuzul
DR. Rosihon Anwar, M.Ag. menyebutkan dalam bukunya ulumul Qur’an, bahwa ada dua hal yang menjadi sudut pandang dalam membagi macam-macam asbabun nuzul, yaitu:
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul
Dari sudut pandang yang pertama ini ada dua redaksi yang dipergunakan perawi dalam mengungkapkan riwayat asbabun nuzul yaitu sharih (jelas) dan muhtamilah (kemungkinan). Redaksi sharih artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbabun nuzul, dan tidak mungkin menunjukkan yang lainnya. Redaksi dikatakan sharih bila perawi mengatakan:
Sebab turun ayat ini adalah…..
Atau perawi menggunakan kata “maka” (fa taqibiyah) setelah ia mengatakan peristwa tertentu. Umpamanya ia mengatakan :
Telah terjadi……. Maka turunlah ayat….
Rasulullah pernah ditanya tentang….maka turunlah ayat….
Contohnya riwayat asbabun nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah riwayat yang dibawakan oleh Jabir yang mengatakan bahwa orang-orang yahudi berkata, “apabila seorang suami mendatangi “kubul” istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling. “Maka turunlah ayat:
Al-baqarah: 223
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (٢٢٣)
223. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.

Adapun redaksi yang termasuk muhtamilah bila perawi mengatakan “Ayat ini dirturunkan berkenaan dengan ….”
Umpamanya riwyat Ibnu Umar yang menyatakan:
نزلت في اتيان النساء في ادبارهن
Artinya:
“Ayat istri-istri kalian adalah ibarat tanah tempat bercocok tanam, diturunkan berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi) istri dari belakang.”(H.R. Bukhari)

Atau perawi mengatakan:
احسب هذه الاية نزلت في كذا .....
Artinya:
“Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ….”
Atau
مااحسب نزلت هذه الاية الا في كذا ....
Artinya:
“Saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …”
Mengenai riwayat asbabun nuzul yang menguunakan redaksi muhtamilah, Az-Zarkasy menuturkan dalam kitabnya Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an:
قد عرف من عادة الصحابة والتابعين ان احدهم اذا قال نزلت هذه الاية في كذا فانه يريد بذلك انها تتضمن هذالحكم لاان هذا كان السبب في نزولها
Artinya:
“sebagaimana diketahui, telah menjadi kebiasaan para sahabat Nabi dan tabi’in, jika seorang diantara mereka berkata , “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan….” Maka yang dimaksud adalah ayat itu mencakup ketentuan hokum tentang ini atau itu, dan bukan bermaksud menguraikan sebab turunnya ayat.”

Skema 1
Redaksi Periwayatan Asbab An-Nuzul



2. Dilihat dari sudut pandang berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk satu Asbab An-Nuzul
a. Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu ayat (Ta’addad As-Sabab wa Nazil Al-wahid)
Tidak setiap ayat memiliki riwayat asbabun nuzul dalam versi. Adakalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbabun nuzul. Tentu saja hal itu tidak akan menjadi persoalan bila riwayat itu tidak mengandung kontradiksi. Bentuk variasi itu terkadang terdapat dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbabun nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengemukakan cra sebagai berikut:
1) Tidak mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat asbabun nuzul menggunakan redaksi muhtamilah (tidak pasti). Umpamanya, satu versi menggunakan redaksi, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan ….” Dan versi lain menggunakan redaksi, “Saya kira ayat diturunkan berkenaan dengan….”
Variasi riwayat asbabun nuzul ini tidak perlu dipermasalahkan karena yang dimaksud oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsi belaka dan bukan asbabun nuzul. Hal ini berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukkan bahwa salah satunya memaksudkan asbabun nuzul.
2) Mengambil versi riwayat asbabun nuzul yang menggunakan redaksi sharih
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbabun nuzul itu tidak menggunakan redaksi sharih (pasti). Umpamanya riwayat asbabun nuzul yang menceritakan kasus seorang lelaki yang menggauli istrinya dari belakang. Mengenai kasus itu nafi’ berkata, “Satu hari, aku membaca ayat ‘Nisa’ukum hartsun lakum.” Ibnu Umar kemudian berkata, “Tahukah engkau, mengenai apa ayat ini diturunkan? “Tidak,” jawabku ia melanjutkan “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang.” Sementara itu, Ibnu Umar menggunakann redaksi yang tidak sharih (pasti), yang dalam salah satu riwayat Jabir, dikatakan :
“Seorang yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang m enyetubuhi istrinya dari belakang, maka anak yang lahir juling. Maka diturunkanlah ayat Nisa’ukum hartsun lakum.”
Dalam kasus ini, riwayat Jabirlah yang harus dipakai karena ia menggunakan redaksi sharih (pasti).
3) Mengambil versi riwayat yang shahih
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi sharih (pasti), tetapi kualitas salah satunya tidak shahih. Umpamanya dua riwayat asbabun nuzul kontradiktif yang berkaitan dengan diturunkannya ayat:
Q.S. Adh-Dhuha 1-3

وَالضُّحَى (١)وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (٢)مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (٣)
1. demi waktu matahari sepenggalahan naik,
2. dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),
3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.

Versi pertama yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Jundab mengatakan:
Rasulullah merasa kurang enak badan sehingga beliau tidak sholat malam selama satu atau dua malam. Seorang wanita dating kepada beliau seraya berkata: “Hai Muhammad, aku melihat setanmu (yang dia maksud ialah Jibril) telah meninggalkan engkau.” Maka turunlah ayat Wadh dhuha (1) Wal laili idza saja (2) Ma wad da’aka Robbuka wa ma qola (3)
Versi kedua yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibn Abi-Syaiban dari Hafsah bin Maisyarah, dari ibunya, dari neneknya (khadam Rasulullah) mengatakan:
“Seekor anjing masuk ke dalam rumah Rasulullah dan bersembunyi di bawah tempat tidur sampai mati. Karenanya selama empat hari Rasulullah tidak menerima wahyu. Nabi berkata, “Wahai Khaulah! Apakah yang telah terjadi di rumah Rasulullah? (sehingga) Jibril tidak dating kepadaku.” Maka akupun (Khaulah) berkata, “Alangkah baiknya jika kuperiksa langsung keadaan rumahnya dan menyapu lantainya. Aku masukkan sapu ke bawah tempat tidur dan mengeluarkan bangkai anjing darinya. Nabi kemudian dating dalam keadaan dagu gemetar. Oleh karena itu, ketika menerima wahyu, dagu Nabi selalu bergetar. Maka Allah menurunkan surat Adh-Dhuha:1-3.
Studi kritis terhadap versi kedua menyatakan bahwa status riwayatnya pada kualitas tidak shahih. Ibnu Hajar mengatakan bahwa kisah keterlambatan Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi karena anak anjing memang masyhur, tetapi keberadaannya sebagai asbabun nuzul adalah asing (gharib) dan sanadnya ada yang tidak dikenal. Oleh karena itu, yang harus diambil adalah riwayat lain yang shahih.
Sedangkan terhadap variasi riwayat asbabun nuzul dalam satu ayat yang versinya berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Mengambil versi riwayat yang sahih
Cara ini diambil bila terdapat dua versi riwayat tentang asbabun nuzul satu ayat, yang salah satu versi berkualitas sahih, sedangkan yang lain tidak. Umpamanya dua versi riwayatasbabun nuzul kontradiktif untuk surah Adh-Dhuha ayat 1-3
(2) Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua versi asbabun nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya sama-sama shahih, seperti asbabun nuzul yang berkaitan dengan turunnya ayat tentang ruh. Versi asbabun nuzul yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud mengatakan:
“Aku berjalan bersama Rasulullah di Madinah dan beliau dalam keadaan bertekan pada pelepah kurma. Ketika beliau melewati sekelompok orang yahudi. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lainnya. “Alangkah baiknya bila kalian menanyakan sesuatu kepadanya (Muhammad). “Kemudian mereka berkata, “Ya Muhammad terangkan kepada kami tentang ruh.” Nabi berdiri sejenak sambil mengangkat kepala, (saat itupun) aku tahu bahwa beliau sedang menerima wahyu. Dan beliaupun membacanya. “Katakanlah, permasalahan ruh adalah sebagian dari urusan tuhanku. Dan tidak diberikan kepadamu ilmu kecuali sedikit saja.”
Dalam versi asbabun nuzul yang dikeluarkan oleh bukhari dan turmudzi dari Ibnu Abbas disebutkan:
“oOrang-orang Quraiys berkata kepada orang-orang yahudi, “Berikan kepada kami tenang sesuatu yang akan ditanyakan kepada lelaki ini (Nabi).” Mereka menjawab, “Bertanyalah kepadanya tentang ruh.” Maka mereka pun bertanya tentangnya kepada Nabi. Maka Allah menurunkan, “Wa yas-alunaka anirruh….”
Kedua riwayat yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Turmudzi di atas berstatus sahih. Akan tetapi, mayoritas ulama’ lebih mendahulukan hadits Bukhari daripada hadits Turmudzi karena hadits Bukhari lebih unggul (rajah), sedangkan hadits Turmdzi tidak unggul (marjuh). Alasan yang diemukakan mereka adalah bahwa Ibnu Mas’ud menyasikan kejadian di atas, sedangkan Ibn Abbas hanya mendengarnya dari orang lain. Dalam kasus di atas, As-Suyuti berkomentar sebagai berikut:
“Studi tarjih telah menyimpulkan bahwa riwayat Bukhari dipandang lebih sahih daripada riwayat Turmudzi, karena Ibn Mas’d mengahdiri langsung kejadian di atas.”
(3) Melakukan studi kompromi (jama’)
Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin dalakukan tarjih. Umpamanya dua versi riwayat asbabun nuzul yang melatarbelakangi turunnya ayat Mu’amalah surat An-Nur ayat 6. dalam versi Bukhari dan Muslim melalui jalur Shahal Ibn Sa’ad dikatakan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan salah seorang sahabat bernama Uwaimir yang bertanya kepada Rasulullah SAW. Tentang apa yang harus dilakuan oleh seorang suami yang mendapati istrinya bezina dengan orang lain. Akan tetapi, dalam versi Buhari melaui jalur Inb Abbas dikatakan bahwa ayat tersebut turun dengan latar belakang kasus Hilal Ibn Umayah yang mengadu kepada Rasulullah SAW. Bahwa istrinya berzina dengan Sarikh Ibn Sahma’. Kedua riwayat itu berkualitas sahih dan tidak mungin dilakukan studi tarjih. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kompromi (jama’). Dua kejadian itu berdekatan masanya sehingga kita mudah mengkompromkan keduanya. Dalam jangka waktu yang tidak berselang lama, kedua orang sahabat bertanya kepada Rasululah SAW. Tentang masalah serupa, maka turunlah ayat mu’amalah untuk menjawab pertanyaan mereka.
Kalau kedua versi riwayat asbabun nuzul itu sahih atau tidak sahih atau tidak dapat dilakukan studi tarjih dan jama’ maka hendaklah kita anggap ayat itu itu diturunkan berulang kali. Dalam istilah ilmu Al-Qur’an hal itu dapat disebut “berulangnya turun ayat” (ta’adudud an-nuzul) sebagai contoh adalah dua versi asbabun nuzul yang melatar belakangi turunya surah Al-Ihlash. Satu riwayat mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab pertanyaan kelompok musyirikin Mekah. Riwayat lainnya mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab kelompok Ahli Kitab di Madinah. Karena kedua riwayat sama-sama sahih dan tidak mungkin untuk dilakukan studi tarjih dan jama’ kita anggap bahwa ayat tersebut turun dua kali.

Skema 2
Variasi Periwayatan Asbabun Nuzul



C. Manfaat mengetahui Asbabun Nuzul
Abu Mujahid dalam karya tulisnya menjelaskan, bahwa mengetahui asbabun nuzul mempunyai beberapa manfaat :
Untuk menghilangkan kesulitan dalam memahami ayat.
Untuk menghilangkan kesalahan dalam memahami ayat

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Asbabun nuzul hadir sebagai bagian dari ulumul Al-qur’an. Karena sebagian Al-qur’an turunya punya latar belakang. Latar belakang itu ada berupa kejadian-kejadian, dan pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan oleh para sahabat.
Asbabun nuzul juga bermacam-macam dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam periwayatannya, serta dipandang ari sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat serta berbilangnya ayat untuk satu asbabun nuzul.
Manfaat asbabun nuzul adalah menghilangan kesulitan dalam memahami ayat, dan untuk menghilangkan kesalahan dalam memahami ayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar